Saat berbicara tentang kenakalan dan perilaku buruk pelajar sekolah, kita bisa menggunakan "Iceberg Analogy", yaitu menyamakan perilaku pelajar dengan sebuah gunung es di lautan. Di balik kenakalan atau buruknya perilaku yang tampak di permukaan, ada latar belakang yang menjadi dasar mengapa seorang pelajar memilih untuk berperilaku buruk. Di sanalah, seringkali terdapat masalah yang jauh lebih kompleks daripada yang tampak di permukaan.
Sikap dan perilaku pelajar pasti dilatar-belakangi oleh motivasi tertentu. Sebagai contoh, jika seorang pelajar memiliki keyakinan bahwa dia akan lulus apabila rajin belajar, keyakinan itu akan membawanya ke dalam perilaku rajin belajar. Sebaliknya, jika pelajar tersebut beranggapan bahwa dia tidak akan lulus meskipun belajar, atau dia pasti lulus meskipun tidak belajar, maka bisa dipastikan perilaku yang akan dia pilih adalah tidak belajar.
"Motif" di Balik Kenakalan Anak Didik
Rudolf Dreikurs, pendiri dan pimpinan the Community Child Guidance Center of Chicago, berpendapat bahwa "seorang anak dengan perilaku bermasalah adalah anak yang kehilangan rasa percaya diri." Menurut Dreikurs, perilaku buruk pada anak didik disebabkan oleh adanya pemikiran yang salah bahwa dia merasa tidak menjadi bagian dalam kelompok, dan merasa keberadaannya tidak berarti.Dalam usahanya untuk menemukan "tempat" dan makna eksistensi diri, pemikiran yang salah akan membawanya ke dalam sikap dan perilaku yang salah. Karena itu, sikap dan perilaku yang dipilihnya justru menimbulkan reaksi atau tanggapan yang berlawanan dengan apa yang diinginkannya. Ketika dia ingin menemukan "tempat" serta makna keberadaan diri, perilakunya yang salah justru menimbulkan reaksi penolakan dari orang lain, termasuk guru dan siswa lainnya.
Dalam konsepnya yang disebut Positive Discipline, Dreikurs mengidentifikasi bahwa ada 4 (empat) tujuan atau sasaran di balik kenakalan anak didik, yaitu perhatian, kekuasaan, balas dendam, dan keputus-asaan. Sebagai kompensasi terhadap kegagalan dalam pencarian jati diri, seorang anak akan berusaha mewujudkan keempat hal itu dalam berbagai perilaku yang buruk seperti, usil, suka mengganggu, kasar, semena-mena, suka mencari keributan dan berkelahi, memberontak dan tidak taat pada guru, hingga malas dan tidak mau belajar.
Bantulah, Jangan Sekedar Menghukum
Dengan memahami bahwa kenakalan pelajar hanyalah dampak dari pemikiran dan motivasi yang salah dalam menyikapi kegagalan pencarian jati diri, masihkah kita meyakini bahwa hukuman adalah cara efektif dalam menangani kenakalan pelajar? Hukuman seringkali hanya bersifat memaksakan perubahan perilaku, dan hampir tidak membantu anak didik untuk menemukan apa yang sedang dia cari, yaitu tempat dan makna eksistensi dirinya. Dalam banyak kasus, hukuman bahkan hanya memperparah kekecewaan dan keputus-asaan siswa terhadap sekolah.
Budaya suka menghukum dapat memperburuk kepercayaan anak didik kepada sekolah. Seorang pelajar yang melakukan pelanggaran dan merasa yakin akan dikenai hukuman cenderung untuk berbohong dan menuduh pihak lain sebagai penyebab. Sebaliknya, ketika dia merasa yakin bahwa dia akan dibantu atau dibimbing agar bisa menghentikan perilaku buruknya, maka dia akan jujur dan terbuka tentang latar belakang masalah yang sebenarnya. Hanya ketika anak didik jujur dan terbuka tentang masalah yang sedang dia alami, solusi efektif terhadap permasalahan yang sebenarnya akan bisa dicapai.
Hukuman dengan berbagai bentuknya, termasuk skorsing, mungkin bisa mengubah perilaku, tapi belum tentu mampu menyentuh kesadaran anak didik dan mengubah motivasi mereka ke arah yang positif. Hukuman harus disertai dengan tindakan korektif, termasuk konseling, untuk mengubah pemikiran yang keliru, dan mengarahkan mereka ke dalam pemikiran positif. Pemikiran yang positif akan menghasilkan motivasi yang baik dan secara otomatis akan mendorong pelajar untuk selalu berperilaku baik.
Bimbingan dan konseling yang tepat mampu mengeksplorasi dan menampung pemikiran serta perasaan anak didik, dan memberi peluang besar untuk membantu anak didik dalam memenuhi kebutuhannya terhadap tempat dan pengakuan eksistensi diri. Di sanalah kita bisa membantu siswa bermasalah untuk mengatasi permasalahan yang dialaminya. Ketika seorang anak sudah merasa nyaman dan menemukan tempat bagi dirinya, perilaku buruknya bisa dipastikan tidak akan timbul kembali.
Karena itu, persepsi bahwa setiap pelanggaran wajib dikenai hukuman harus dihilangkan dari dunia pendidikan, terutama sekolah. Pelajar bermasalah lebih membutuhkan bimbingan dan pertolongan daripada sekedar hukuman. Kita harus selalu ingat bahwa kenakalan pelajar timbul dari kegagalan mereka menemukan tempat dan makna bagi keberadaan dirinya. Pesan mereka sebenarnya jelas, bahwa mereka hanyalah anak-anak yang ingin menemukan tempat yang nyaman dimana keberadaan mereka diakui dan menjadi berarti.